Cara Belajar Filsafat (1)

Salam ... !!!

Selamat bertemu lagi dengan saya di sini. Pertama-tama saya mau ucapin maaf yang sebesar-besarnya karena postingnya telat lagi. Kedua, saya ingin mengucapkan selamat Idul Fitri 1429H dan semoga segala sesuatunya menjadi hikmah dan berkah buat Anda semua. Ketiga, saya lupa lagi. Hehe ...

Oh iya, sesuai judulnya, sekarang ini kita akan membahas cara belajar filsafat. Ini merupakan materi yang gampang-gampang susah untuk dilaksanakan. Sebab, cara belajar sangat bergantung pada karakter masing-masing pribadi yang amat khas. Ada pribadi yang suka belajar dengan tekun dan rutin. Ada yang senang belajar sambil bersantai dan mendengarkan musik. Ada pula yang hanya belajar pada saat mau ujian, alias belajar dengan model SKS (Sistem Kebut Semalam). (Kebanyakan orang Indonesia kayaknya lebih suka dengan yang terakhir. ;-) )

Nah, dalam kaitannya dengan cara belajar filsafat, karakter seperti ini akan sangat mempengaruhi pola belajar filsafat. Walaupun demikian, tetap saja ada pola umum yang dapat kita pakai dalam mempelajari filsafat. Di sini, saya akan mengetengahkan pola umum yang paling mudah dilaksanakan. Cara belajar yang dimaksud akan dijelaskan melalui contoh ketika saya belajar filsafat pertama kali.

Ketika Anda mempelajari filsafat pertama kali, tentunya kebingungan akan hadir dan terus membayangi Anda. Anda biasanya akan dibingungkan oleh masalah-masalah: saya harus belajar dari mana, saya harus belajar apa; apakah saya harus belajar dengan sistematik atau tidak; apakah saya harus mempelajari seluruh materi filsafat atau hanya sebagian saja; apakah ada manfaatnya kalau belajar filsafat apa tidak; apakah saya akan 'gila' atau menjadi 'tidak waras' kalau belajar filsafat apa tidak; dan yang terakhir, mungkinkah saya belajar filsafat apa tidak.

Semua kebingungan atau kekhawatiran yang muncul ini adalah wajar dan saya juga mengalaminya. Pada saat situasi ini muncul, dulu saya memilih untuk belajar filsafat dengan cara mempelajari sejarahnya. Artinya, saya mulai masuk dalam dunia filsafat dengan mengawalinya pada materi sejarah filsafat. Walaupun cukup efektif buat saya ketika itu, namun saya dihadapkan pada pengembaraan nan panjang dan melelahkan. 

Bagaimana tidak, saya dengan tidak sadar 'dipaksa' untuk mempelajari sejarah filsafat yang terentang selama kurang lebih dari 2500 tahun. Saya larut dan kemudian mempelajari secara otodidak sejarah filsafat Yunani, Islam, India, Cina, Barat di masa Abad Pertengahan, Abad Pencerahan, Abad XVI hingga Abad XX. Walaupun tidak sepenuhnya otodidak karena saya mendapatkan arahan dari mata kuliah sejarah filsafat yang diberikan di Fakultas, saya tetap merasa tidak puas dengan uraian-uraian dosen saya tersebut. Pernah satu waktu saya bertanya dalam mata kuliah Sejarah Filsafat Islam tentang teori Emanasi yang diungkapkan Al-Farabi mengikuti uraian Emanasi Plotinus, dosen saya tersebut malah bilang untuk tidak 'ngeyel'. 

Saya bertanya-tanya dalam hati. Saya kan kuliah untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban. Kenapa malah saya tidak boleh bertanya tentang masalah itu? Walaupun agak nggrundel dalam hati, saya tetap ikuti kuliah itu hingga akhir. Saya mendapatkan nilai A untuk mata kuliah Sejarah Filsafat Islam. Tetapi saya tidak mendapatkan pengetahuan apapun kecuali pengenalan terhadap tokoh-tokoh Filsafat Islam beserta pengenalan atas teori-teori yang diungkapkannya. Akhirnya, saya mulai mendapatkan sedikit gambaran yang cukup baik ketika memutuskan untuk membaca buku biografi Ibn Sina secara otodidak tanpa terlalu peduli dengan buku teks yang dianjurkan. 

Inilah gambaran sederhana cara saya belajar filsafat untuk pertama kali. Meskipun begitu, ketika saya mulai masuk dalam ranah kajian filsafat secara lebih jauh, saya kembali dihadapkan pada kebingungan untuk memilih cabang filsafat apa yang akan saya telaah lebih serius. Apakah Metafisika atau Ontologi, Aksiologi, Etika, Epistemologi, Filsafat Ilmu, atau cabang lainnya. Saya mencoba memulainya dari Metafisika. Namun, karena kekurangan referensi yang membahas bidang ini, saya urung mempelajarinya secara serius. 

Titik terang untuk mempelajari cabang filsafat mulai muncul lagi-lagi karena pengembaraan saya dalam sejarah filsafat. Kali ini saya terpikat dengan tokoh yang bernama Ludwig Wittgenstein. Ia adalah seorang filsuf Jerman-Inggris yang menekuni bidang Mesin Pesawat Terbang di awal kuliah, namun berbelot menekuni filsafat karena dorongan untuk mempelajari Matematika secara lebih mendalam. Melalui Wittgenstein, saya didorong untuk menekuni Filsafat Bahasa hingga akhirnya bergerak ke bidang Semiotika.

Ketika saya asyik dengan semua pembelajaran itu, tak terasa saya harus menyiapkan skripsi sebagai ujian terakhir mempelajari filsafat di kampus pada tahun 1999. Lagi-lagi saya bingung harus mengambil tema apa yang sesuai dengan minat filosofis saya waktu itu. Saya siapkan judul mulai dari tema Logika, teori "Public Sphere"-nya Jurgen Habermas, hingga kajian mengenai Wittgenstein itu sendiri. Namun demikian, saya malah tertambat hati dengan tema Cyberspace setelah membeli buku Cyberspace for Beginner terbitan Mizan dari tukang buku loakan di jalan yang membelah kampus IKIP Yogyakarta (sekarang UNY) ke arah jalan Gejayan.

Keputusan pun dibuat dan akhirnya saya mengajukan skripsi filsafat dengan tema Cyberspace. Teman-teman di kampus pun rada-rada kaget. Apa hubungannya Cyberspace dengan filsafat? Mereka mengajukan pertanyaan itu sering kali. Bagaimana pun juga itu adalah sesuatu yang lumrah karena di tahun 1999 Internet belum begitu menjamur dan hanya sedikit orang yang paham akan Internet. Tetapi, saya nekat. Saya paksa diri saya untuk belajar sesuatu yang baru untuk menemukan sisi filosofisnya. Akhirnya, melalui perjuangan selama empat tahun, jadilah skripsi saya. (Duh, lama banget bikinnya! Termasuk orang yang menyandang gelar MA (Mahasiswa Abadi) ya? ... Iya nih, gak salah tuh. Hehe...)

Duh, ko jadi cerita ya? Maaf, tapi inilah cara saya belajar filsafat. Jadi, saya terpaksa memaparkannya panjang lebar untuk menjelaskan pola belajar filsafat yang saya miliki. Terkesan serabutan dan tidak efektif memang, meski mudah untuk dilaksanakan. Oleh karena alasan ini, saya akan mencoba untuk menyusun cara belajar filsafat yang lebih efisien dan efektif pada posting selanjutnya. Demikian, tulisan saya untuk cara belajar filsafat bagian pertama. Mohon kritik dan sarannya!




Previous
Next Post »